Dengan
dzikir tanpa henti, aku masih mencoba tenang. Meskipun banyak lalu lalang
motor, tapi aku merasa begitu takut dengan settingan
jalan ini. Jalan yang lengang, yang dikelilingi oleh bangunan pabrik tua tak
terawat. Penerangan jalan yang tak begitu terang, ditambah suasana alam
menjelang maghrib.
Aku
masih berjalan menuntun motorku dengan perasaan campur aduk. Tenang yang
dipaksakan, melawan kepanikan yang begitu dahsyat. Jalan menuju rumahku masih
sekitar 2 KM lagi. Aku pesimis apakah aku bisa melampaui jarak sejauh itu
dengan berjalan kaki sambil menuntun motorku. Apalagi dengan kondisiku
saat ini. Namun, aku pasrah saja dengan
skenario ini. Aku juga yang salah, tidak teliti dan hati-hati. Menggampangkan sesuatu
yang sebenarnya fatal. Aku hanya mampu berdzikir dan tetap menjaga dawai
ketenangan.
Satu
dua motor mendahuluiku. Semua hampir memiliki kesamaan. Terburu-buru. Mungkin
agar bisa segera sampai rumah sebelum maghrib datang. Jalan ini adalah salah
satu jalan yang sebenarnya padat pengendara, karena menghubungkan jalan raya
dengan beberapa perumahan . Namun jalan ini memang terasa sangat lengang dan
cukup gelap.
Aku
tetap berjalan sambil menuntun motorku. Kucoba mengisi ruang fikirku dengan
fikiran-fikiran positif sehingga tak ada lagi kekhawatiran maupun ketakutan.
Apa boleh buat, toh memang sudah
seperti ini. Bisa diambil pelajaran besar, bahwa segala sesuatu harus penuh
perencanaan.
“Assalamu’alaykum.
Mbak, kenapa motornya. Ada yang bisa kubantu?”
Seorang
gadis memakai seragam abu-abu putih berjilbab tiba-tiba muncul di depanku. Mengagetkanku
yang sedang asyik dengan gelegak fikir tak terbatas.
Aku
tersenyum penuh binar.
“Em,
kayaknya kehabisan bensin dek.”
“O...tunggu
disini ya mbak. Tak belikan bensin. Jangan kemana-mana ya mbak.”
“Eh
ga pa pa kok dek. Ini dituntun aja, bentar lagi insya Allah sampai rumah.” Aku
mencoba menolak, khawatir merepotkan –karena aku memang tipikal orang yang
tidak enak hati jika merepotkan-
“Perumahan
kan masih jauh mbak. Tunggu dulu ya mbak. Tak belikan bensin dulu.”
Gadis
berseragam putih abu-abu itu, melesat meninggalkanku sendirian. Di satu sisi
aku lega, tapi kalau harus menunggu di tempat seperti ini, terus terang aku
agak takut.
Dengan
tetap tenang, aku menunggu di samping pabrik tua tak terawat ini. Segera
kuamankan HP dan dompetku. Barangkali sesuatu terjadi. Di tempat seperti ini,
aku hanya khawatir orang tak bersahabat denganku menghampiri dan meminta semua
barang-barangku. Ah, aku negatif
thingking lagi. Tapi, bukankah segala kemungkinan bisa saja terjadi ya?
Adzan maghrib berkumandang. Gadis
cantik itu tak jua muncul. Langit semakin gelap dan aku semakin bertambah tak
tenang. Kalau ku paksa berjalan, khawatir dia tak menemukanku lagi, dan itu
berarti aku telah mengecewakan usahanya. Ya Allah...aku tahu gadis tadi adalah
orang baik dan tak mungkin membohongiku.
Tiba-tiba
tampak dari kejauhan senyum manis gadis itu.
“Mbak,
maafkan adik. Kelamaan ya. Beberapa warung sudah tutup. Tadi nyari yang masih
buka.”
“Ga
papa dek. Mbak harusnya bersyukur ketemu dengan gadis baik hati seperti adik.”
“Biasa
aja kali Mbak. Adik seneng bisa bantu.”
Setelah
aku menuang bensin ke motorku, aku terlibat pembicaraan sebentar dengannya.
“SMA
mana dek?”
“SMA
1 mbak”
“Wah..pasti
pinter ya”
Aku
tersenyum. Karena setahuku dan memang sudah menjadi rahasia umum, bahwa SMA 1
Solo adalah kumpulannya anak-anak pintar.
Gadis
cantik itu tiba-tiba tertawa. “Ah, Mbak bisa aja”
Ups,
senyum itu manis sekali.
“Kok
jam segini baru pulang?”
“Ada
les mbak. Adik sudah kelas 3 mbak, sebentar lagi UASBN. Minta doanya ya mbak”
“Insya
Allah dek, semoga mendapatkan yang terbaik. Ikhtiar dan doanya jangan berhenti
ya...”
Gadis
itu mengamini ucapanku, lagi-lagi dengan senyum khasnya.
“Rumahnya
mana dek?”
“Mawar
1 mbak. Mbak dimana?”
“Anggrek
4. Nomor 96. Kapan-kapan main ya.”
“Insya
Allah mbak.”
Aku
menyerahkan uang pembelian bensin yang dibelikan oleh si gadis. Tapi dia
menolak. Dengan segala caranya dia menolak uang pemberianku. Tapi aku berhasil
memasukkan uang itu ke dalam tasnya.
“Ah
mbak, biar ini jadi amal adik. Ga usah ditukar.” Dia berusaha mengeluarkan uang
itu dari tasnya.
Setelah
berhasil mengeluarkan uang dari tasnya, adik itu tiba-tiba terdiam.
“Mbak
lagi hamil ya? Masya Allah...motoran sendiri?”
“Iya
dek. Udah biasa kok. Lha suami kan kerjanya shif,
hari ini kebetulan shif sore, jadi ga
bisa jemput.” Dia ternyata baru menyadari kehamilanku, yang memang tidak begitu
tampak jika aku memakai jaket.
“Ya
Allah...mbak tangguh sekali ya. Mbak kerja dimana?” wajahnya begitu penuh kekhawatiran.
“Di
Banyuanyar. Tenang saja dek, mbak udah biasa.”
“Ini
berapa bulan mbak?”
“7
bulan dek. Doakan ya semoga bisa lahir normal dan sehat. Udah maghrib, pulang
yuk.”
Dia
tersadar kembali, dan segera menyerahkan uang bensin yang tidak mau
diterimanya. Aku segera men-starter motorku,
agar bisa menghindar dari desakannya untuk menerima uang itu kembali.
“Hati-hati
ya mbak. Terima kasih.”
“Mbak
yang seharusnya mengucapkan terima kasih banyak.”
Aku
mengucapkan salam sambil tersenyum.
Bangunan
tua itu menjadi saksi atas kebaikan gadis belia itu. Ah, aku menyesal karena
tidak bertanya nama dan nomor handphone
nya, karena sibuk menghindar agar uang itu tak dikembalikannya lagi padaku.
Seandainya aku tahu nama dan nomor handphone
nya, mungkin silaturahim itu bisa terjaga hingga sekarang.
Hingga
detik ini, aku tidak pernah bertemu lagi dengan gadis cantik itu. Padahal rumah
kami 1 perumahan. Pernah sesekali lewat Mawar 1, punya keinginan untuk ketemu
dengannya, tapi karena tidak tahu nomor rumahnya dan tidak tahu namanya, aku
hanya lewat dengan hasil hampa. Mungkin sekarang gadis itu sudah diterima
kuliah di tempat terbaiknya. Semoga saja tercapai cita-citanya.
Terkadang
teringat sekali kebaikan gadis manis itu. Dan yang lebih salut lagi, dia
membantuku tulus, bukan karena kasihan sebab aku hamil –karena dia baru
menyadari kalau aku hamil, justru di akhir pertemuan indah kami-. Subhanallah....
oh, anak2 SMA 1 Solo emang cantik2, baik2 dan pintar2 kok.. haha..
BalasHapus-Sonia-
waduh...lain kali ceritanya pake SMA lain aja dech... :p
BalasHapus