Minggu, 22 April 2012

Ceritaku 2: Dzikir-dzikir Senja


Dengan dzikir tanpa henti, aku masih mencoba tenang. Meskipun banyak lalu lalang motor, tapi aku merasa begitu takut dengan settingan jalan ini. Jalan yang lengang, yang dikelilingi oleh bangunan pabrik tua tak terawat. Penerangan jalan yang tak begitu terang, ditambah suasana alam menjelang maghrib.
Aku masih berjalan menuntun motorku dengan perasaan campur aduk. Tenang yang dipaksakan, melawan kepanikan yang begitu dahsyat. Jalan menuju rumahku masih sekitar 2 KM lagi. Aku pesimis apakah aku bisa melampaui jarak sejauh itu dengan berjalan kaki sambil menuntun motorku. Apalagi dengan kondisiku saat  ini. Namun, aku pasrah saja dengan skenario ini. Aku juga yang salah, tidak teliti dan hati-hati. Menggampangkan sesuatu yang sebenarnya fatal. Aku hanya mampu berdzikir dan tetap menjaga dawai ketenangan.

Satu dua motor mendahuluiku. Semua hampir memiliki kesamaan. Terburu-buru. Mungkin agar bisa segera sampai rumah sebelum maghrib datang. Jalan ini adalah salah satu jalan yang sebenarnya padat pengendara, karena menghubungkan jalan raya dengan beberapa perumahan . Namun jalan ini memang terasa sangat lengang dan cukup gelap.
Aku tetap berjalan sambil menuntun motorku. Kucoba mengisi ruang fikirku dengan fikiran-fikiran positif sehingga tak ada lagi kekhawatiran maupun ketakutan. Apa boleh buat, toh memang sudah seperti ini. Bisa diambil pelajaran besar, bahwa segala sesuatu harus penuh perencanaan.
“Assalamu’alaykum. Mbak, kenapa motornya. Ada yang bisa kubantu?”
Seorang gadis memakai seragam abu-abu putih berjilbab tiba-tiba muncul di depanku. Mengagetkanku yang sedang asyik dengan gelegak fikir tak terbatas.
Aku tersenyum penuh binar. 
“Em, kayaknya kehabisan bensin dek.”
“O...tunggu disini ya mbak. Tak belikan bensin. Jangan kemana-mana ya mbak.”
“Eh ga pa pa kok dek. Ini dituntun aja, bentar lagi insya Allah sampai rumah.” Aku mencoba menolak, khawatir merepotkan –karena aku memang tipikal orang yang tidak enak hati jika merepotkan-
“Perumahan kan masih jauh mbak. Tunggu dulu ya mbak. Tak belikan bensin dulu.”
Gadis berseragam putih abu-abu itu, melesat meninggalkanku sendirian. Di satu sisi aku lega, tapi kalau harus menunggu di tempat seperti ini, terus terang aku agak takut.
Dengan tetap tenang, aku menunggu di samping pabrik tua tak terawat ini. Segera kuamankan HP dan dompetku. Barangkali sesuatu terjadi. Di tempat seperti ini, aku hanya khawatir orang tak bersahabat denganku menghampiri dan meminta semua barang-barangku. Ah, aku negatif thingking lagi. Tapi, bukankah segala kemungkinan bisa saja terjadi ya?
            Adzan maghrib berkumandang. Gadis cantik itu tak jua muncul. Langit semakin gelap dan aku semakin bertambah tak tenang. Kalau ku paksa berjalan, khawatir dia tak menemukanku lagi, dan itu berarti aku telah mengecewakan usahanya. Ya Allah...aku tahu gadis tadi adalah orang baik dan tak mungkin membohongiku.
Tiba-tiba tampak dari kejauhan senyum manis gadis itu.
“Mbak, maafkan adik. Kelamaan ya. Beberapa warung sudah tutup. Tadi nyari yang masih buka.”
“Ga papa dek. Mbak harusnya bersyukur ketemu dengan gadis baik hati seperti adik.”
“Biasa aja kali Mbak. Adik seneng bisa bantu.”
Setelah aku menuang bensin ke motorku, aku terlibat pembicaraan sebentar dengannya.
“SMA mana dek?”
“SMA 1 mbak”
“Wah..pasti pinter ya”
Aku tersenyum. Karena setahuku dan memang sudah menjadi rahasia umum, bahwa SMA 1 Solo adalah kumpulannya anak-anak pintar.
Gadis cantik itu tiba-tiba tertawa. “Ah, Mbak bisa aja”
Ups, senyum itu manis sekali.
“Kok jam segini baru pulang?”
“Ada les mbak. Adik sudah kelas 3 mbak, sebentar lagi UASBN. Minta doanya ya mbak”
“Insya Allah dek, semoga mendapatkan yang terbaik. Ikhtiar dan doanya jangan berhenti ya...”
Gadis itu mengamini ucapanku, lagi-lagi dengan senyum khasnya.
“Rumahnya mana dek?”
“Mawar 1 mbak. Mbak dimana?”
“Anggrek 4. Nomor 96. Kapan-kapan main ya.”
“Insya Allah mbak.”
Aku menyerahkan uang pembelian bensin yang dibelikan oleh si gadis. Tapi dia menolak. Dengan segala caranya dia menolak uang pemberianku. Tapi aku berhasil memasukkan uang itu ke dalam tasnya.
“Ah mbak, biar ini jadi amal adik. Ga usah ditukar.” Dia berusaha mengeluarkan uang itu dari tasnya.
Setelah berhasil mengeluarkan uang dari tasnya, adik itu tiba-tiba terdiam.
“Mbak lagi hamil ya? Masya Allah...motoran sendiri?”
“Iya dek. Udah biasa kok. Lha suami kan kerjanya shif, hari ini kebetulan shif sore, jadi ga bisa jemput.” Dia ternyata baru menyadari kehamilanku, yang memang tidak begitu tampak jika aku memakai jaket.
“Ya Allah...mbak tangguh sekali ya. Mbak kerja dimana?” wajahnya begitu penuh kekhawatiran.
“Di Banyuanyar. Tenang saja dek, mbak udah biasa.”
“Ini berapa bulan mbak?”
“7 bulan dek. Doakan ya semoga bisa lahir normal dan sehat. Udah maghrib, pulang yuk.”
Dia tersadar kembali, dan segera menyerahkan uang bensin yang tidak mau diterimanya. Aku segera men-starter motorku, agar bisa menghindar dari desakannya untuk menerima uang itu kembali.
“Hati-hati ya mbak. Terima kasih.”
“Mbak yang seharusnya mengucapkan terima kasih banyak.”
Aku mengucapkan salam sambil tersenyum.
Bangunan tua itu menjadi saksi atas kebaikan gadis belia itu. Ah, aku menyesal karena tidak bertanya nama dan nomor handphone nya, karena sibuk menghindar agar uang itu tak dikembalikannya lagi padaku. Seandainya aku tahu nama dan nomor handphone nya, mungkin silaturahim itu bisa terjaga hingga sekarang.
Hingga detik ini, aku tidak pernah bertemu lagi dengan gadis cantik itu. Padahal rumah kami 1 perumahan. Pernah sesekali lewat Mawar 1, punya keinginan untuk ketemu dengannya, tapi karena tidak tahu nomor rumahnya dan tidak tahu namanya, aku hanya lewat dengan hasil hampa. Mungkin sekarang gadis itu sudah diterima kuliah di tempat terbaiknya. Semoga saja tercapai cita-citanya.
Terkadang teringat sekali kebaikan gadis manis itu. Dan yang lebih salut lagi, dia membantuku tulus, bukan karena kasihan sebab aku hamil –karena dia baru menyadari kalau aku hamil, justru di akhir pertemuan indah kami-. Subhanallah....

2 komentar:

  1. oh, anak2 SMA 1 Solo emang cantik2, baik2 dan pintar2 kok.. haha..

    -Sonia-

    BalasHapus
  2. waduh...lain kali ceritanya pake SMA lain aja dech... :p

    BalasHapus