Aku masih tersenyum geli setelah membaca sebaris kalimat di sepeda kumbang warna coklat yang terparkir di samping rumahku. Di bagian depan -di desain seperti plat nomor pada sepeda motor- ada sebaris tulisan “Sepeda antik full musik”. Ah, kreatif amat pemilik sepeda itu. Pemiliknya adalah Pak Darno, kuli bangunan di rumahku, yang mulai bekerja merenovasi teras dan dapur rumahku sejak 2 pekan yang lalu. Akupun baru sekitar 3 hari yang lalu tahu nama asli Pak Darno, karena selama ini orang-orang lebih sering memanggilnya Pak Pendek. Sebenarnya postur tubuhnya juga tidak pendek, tingginya kira-kira sekitar 168 cm. Tapi entah mengapa Pak Darno lebih terkenal dengan nama Pak Pendek. Dan Pak Darno pun tidak pernah protes dengan panggilan itu.
Setiap pagi, Pak Darno –aku tak mau memanggilnya Pak Pendek- selalu datang di rumahku tepat pukul 07.00, 15 menit sebelum suamiku berangkat kerja. Pak Darno datang dengan seulas senyum yang menunjukkan deretan giginya. Giginya tampak rapi dan bersih meskipun usianya sudah 50-an. “Assalamu’alaikum, apa kabar pagi ini Pak Ridwan?” Selalu dan selalu itu yang beliau ucapkan setiap datang ke rumahku, yang mungkin adalah kantornya selama kurang lebih 2 bulan ke depan. Menyapa suamiku sambil menjabat tangan suamiku. Seorang berusia 50-an tak malu menjabat seseorang yang usianya jauh dibawahnya. Suamiku masih 28 tahun. Bahkan dalam ajaran Islampun seharusnya yang muda-lah yang menyapa yang lebih tua. Tapi, suamiku selalu kalah dengan Pak Darno.
“Bu Retno, nyuwun pangapunten. Apa ada yang aneh dengan sepeda saya.