Selasa, 03 April 2012

Ceritaku 1: SENANDUNG PAYUNG UNGU


Suamiku berusaha memacu laju motor kami, agar bisa menghindar dari hujan. Tapi tetap saja kami kehujanan. Akhirnya kami memutuskan berhenti berteduh di sebuah bengkel tambal ban yang kami lewati. Setelah minta ijin pada pemilik bengkel, aku segera mencari tempat yang aman bagi putriku. Maklum, selain kami, di bengkel ini banyak juga orang yang berteduh, dengan pemandangan asap rokok yang begitu gempita. Ah, suasana paling tidak kami sukai adalah saat bersanding dengan orang-orang yang merokok.
            Setelah sesaat berteduh, hujan tampak mulai reda. Kami memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan, berharap agar segera sampai rumah. Sesaat perjalanan, hujan tiba-tiba lebat lagi. Suamiku memacu motor lebih cepat, sambil sesekali mencari rumah atau tempat yang barangkali bisa kita jadikan tempat untuk istirahat berteduh sejenak.
            Beberapa rumah kita lewati, tapi beberapa rumah itu tampak berpagar besi tinggi sehingga untuk sekedar istirahat berteduh si emperannya saja sepertinya kami tidak bisa. Aku sudah mulai panik, mengkhawatirkan putri kecilku yang saat itu berusia 6 bulan. Ah, tapi aku mencoba tenang, suamiku pasti tahu yang terbaik.
            Setelah belokan, akhirnya kami menemukan sebuah rumah yang cukup besar, dengan teras yang cukup nyaman. Kami bertekad memasukinya. Setelah meminta izin kepada pemilik rumah, akhirnya kami duduk di teras sambil membincangkan banyak hal. Sesekali ibu pemilik rumah memaksa kami untuk masuk rumah. Tapi kondisi kami sudah basah kuyup, sehingga kami memilih untuk tetap berteduh di teras.
“Kak (panggilan sayang untuk suamiku), besok kalau punya rumah sendiri, ga usah di pagar besi ya. Biar bisa bermanfaat buat banyak orang.” Aku bergumam kepada suamiku.
“Insya Allah...berarti harus punya teras yang luas juga dong” sahut suamiku.         
Pembicaraan kami berlanjut kemana-mana sambil menunggu hujan reda. Membicarakan rencana bisnis yang akan kami rintis, membicarakan tumbuh kembang putri kami, membicarakan tentang pekerjaan kami, dan beberapa pembicaraan ringan.
            Sekitar 45 menit kemudian hujan reda. Aku mengucapkan salam di depan pintu rumah, berharap tuan rumah keluar menjumpai kami.
“Bu, matur nuwun sanget. Ngapunten ngrepotaken.” [terima kasih banyak.maaf merepotkan] aku berucap terima kasih dalam bahasa jawa masyarakat.
Mboten nopo-nopo mbak. Niki ngasto payung nggeh.”[tidak apa-apa mbak. Ini bawa payung ya] Ibu pemilik rumah menawari kami untuk membawa payung.
“Mboten Bu, menika pun mboten deres kok bu.” [tidak bu, ini sudah tidak deras kok Bu]
Lha wong taksik grimis ngoten kok. Mesakne baby ne niku lho” [Masih gerimis gini kok. Kasihan bayinya itu lho]
Mboten bu, mangke ndak kesupen.” [tidak usah bu, nanti daripada kelupaan]. Suamiku membantuku untuk tidak menerima payung yang disodorkan oleh si ibu. Lagi-lagi kami hanya khawatir merepotkan.
Nek mangke kesupen, insya Allah ibu lillahi ta’ala. Pun tho diasto mawon.” [Kalau nanti kelupaan, Insya Allah ibu lillahi ta’ala. Udah dibawa aja]
Aku melirik suamiku, meminta persetujuan beliau.
Mboten usah bu, niki pun mboten jawah kok.” [tidak usah bu, ini sudah tidak hujan kok] Suamiku masih bersikeras untuk tidak menerima tawaran payung beliau. Sebenarnya hujan sudah benar-benar reda, tapi sang ibu masih bersikeras memberikan payungnya.
Setelah agak lama saling ‘memaksa’, akhirnya kuterima payung itu dengan perasaan trenyuh. Luar biasa, belum kenal sama sekali, tapi ibu ini begitu percaya pada kami.
Kami berpamitan, setelah menerima payung ungu dari sang ibu baik hati. Rumah kami memang tidak terlalu jauh dari rumah sang ibu. Hanya sekitar 1 KM mungkin. Tak pakai payung pun sebenarnya tidak apa-apa. Tapi kami tetap memakai payung tersebut, melegakan sang ibu dan agar tidak mengecewakan.
***
            Sore ini aku berencana mengembalikan payung ungu yang 3 hari lalu kupinjam, setelah 3 hari ini pula aku kelupaan terus untuk mengembalikan. Setiap berangkat dan pulang kerja, sebenarnya aku selalu melewati jalan depan rumah sang ibu, tapi namanya lupa memang tidak bisa disalahkan.
            Ditengah gerimis, aku menghentikan motorku di halaman yang cukup luas itu. Seorang wanita berusia sekitar 50an tahun keluar dengan tergopoh-gopoh.
“Masya Allah....hujan-hujan kok ya nekat kesini tho nduk-nduk.” [nduk adalah panggilan untuk anak perempuan Jawa]
Ah, sambutannya begitu menyejukkan dan bersahabat. Dan beliau memanggilku dengan panggilan –nduk-. Sebuah panggilan yang sangat kusenangi sejak kecil.
Aku tersenyum. Tampak ibu itu begitu sumringah menyambutku.
“Lha mbok kapan-kapan aja tho nduk-nduk. Hujan-hujan gini kok ya nekat”
“Mboten nopo-nopo bu. Nyuwun pangapunten, kawula kesupen terus.”[tidak apa-apa bu. Mohon maaf,saya kelupaan terus]
Aku menuju teras rumah beliau kemudian menjabat dan mencium tangannya takzim. Kuserahkan payung ungu itu beserta sebungkus oleh-oleh yang sengaja kubeli untuk sang ibu. Ibu tersebut menolak bingkisan yang kuberikan. Saling mendesak, akhirnya beliau menerima bingkisan yang tak berarti itu.
Sang ibu mempersilahkan masuk. Tapi karena kondisiku yang sudah nyaris basah membuatku berargumen untuk meminta ngobrol di teras saja.
Kami ngobrol banyak hal. Mulai tentang sang cucu semata wayang, anak semata wayang, hingga cerita sang suami tercinta yang sejak 4 tahun lalu harus bedrest karena strok.
Sang ibu bercerita sambil sesekali mengusap airmata. Mata itu terus berkaca-kaca. Mungkin ingatan beliau sedang teringat sesuatu.
Ah, senyum itu sepertinya begitu berharga untuk melecutkan semangat hidupnya. Sang cucu laki-laki kulihat sedang asik bermain bola sendirian. Dia tampak tanpa beban. Lelaki kecil itu pula yang mungkin mampu memacu semangat sang nenek untuk selalu tegar menghadapi segala ujian hidup.
            Hingga kini, silaturahimku masih erat terjaga bersama sang ibu. Sesekali aku mampir ke rumahnya, sesekali aku tertawa terbahak-bahak bercerita hal-hal sepele bersamanya. Ah, semua ini hanya karena sebuah payung ungu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar