Setelah sesaat berteduh, hujan
tampak mulai reda. Kami memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan, berharap agar segera sampai rumah. Sesaat perjalanan, hujan tiba-tiba lebat lagi. Suamiku memacu motor lebih cepat, sambil sesekali mencari rumah atau tempat yang barangkali bisa kita jadikan tempat untuk istirahat berteduh sejenak.
perjalanan, berharap agar segera sampai rumah. Sesaat perjalanan, hujan tiba-tiba lebat lagi. Suamiku memacu motor lebih cepat, sambil sesekali mencari rumah atau tempat yang barangkali bisa kita jadikan tempat untuk istirahat berteduh sejenak.
Beberapa rumah kita lewati, tapi
beberapa rumah itu tampak berpagar besi tinggi sehingga untuk sekedar istirahat
berteduh si emperannya saja sepertinya kami tidak bisa. Aku sudah mulai panik,
mengkhawatirkan putri kecilku yang saat itu berusia 6 bulan. Ah, tapi aku
mencoba tenang, suamiku pasti tahu yang terbaik.
Setelah belokan, akhirnya kami
menemukan sebuah rumah yang cukup besar, dengan teras yang cukup nyaman. Kami
bertekad memasukinya. Setelah meminta izin kepada pemilik rumah, akhirnya kami
duduk di teras sambil membincangkan banyak hal. Sesekali ibu pemilik rumah
memaksa kami untuk masuk rumah. Tapi kondisi kami sudah basah kuyup, sehingga
kami memilih untuk tetap berteduh di teras.
“Kak
(panggilan sayang untuk suamiku),
besok kalau punya rumah sendiri, ga usah di pagar besi ya. Biar bisa bermanfaat
buat banyak orang.” Aku bergumam kepada suamiku.
“Insya
Allah...berarti harus punya teras yang luas juga dong” sahut suamiku.
Pembicaraan
kami berlanjut kemana-mana sambil menunggu hujan reda. Membicarakan rencana
bisnis yang akan kami rintis, membicarakan tumbuh kembang putri kami,
membicarakan tentang pekerjaan kami, dan beberapa pembicaraan ringan.
Sekitar 45 menit kemudian hujan
reda. Aku mengucapkan salam di depan pintu rumah, berharap tuan rumah keluar
menjumpai kami.
“Bu,
matur nuwun sanget. Ngapunten ngrepotaken.”
[terima kasih banyak.maaf merepotkan]
aku berucap terima kasih dalam bahasa jawa masyarakat.
“Mboten nopo-nopo mbak. Niki ngasto payung
nggeh.”[tidak apa-apa mbak. Ini bawa payung ya] Ibu pemilik rumah menawari
kami untuk membawa payung.
“Mboten Bu, menika pun mboten deres
kok bu.” [tidak bu,
ini sudah tidak deras kok Bu]
“Lha wong taksik grimis ngoten kok. Mesakne baby ne niku lho” [Masih gerimis gini kok. Kasihan bayinya itu
lho]
“Mboten bu, mangke ndak kesupen.” [tidak usah bu, nanti daripada kelupaan].
Suamiku membantuku untuk tidak menerima payung yang disodorkan oleh si ibu.
Lagi-lagi kami hanya khawatir merepotkan.
“Nek mangke kesupen, insya Allah ibu lillahi
ta’ala. Pun tho diasto mawon.” [Kalau
nanti kelupaan, Insya Allah ibu lillahi ta’ala. Udah dibawa aja]
Aku
melirik suamiku, meminta persetujuan beliau.
“Mboten usah bu, niki pun mboten jawah kok.”
[tidak usah bu, ini sudah tidak hujan kok]
Suamiku masih bersikeras untuk tidak menerima tawaran payung beliau. Sebenarnya
hujan sudah benar-benar reda, tapi sang ibu masih bersikeras memberikan
payungnya.
Setelah
agak lama saling ‘memaksa’, akhirnya kuterima payung itu dengan perasaan
trenyuh. Luar biasa, belum kenal sama sekali, tapi ibu ini begitu percaya pada
kami.
Kami
berpamitan, setelah menerima payung ungu dari sang ibu baik hati. Rumah kami
memang tidak terlalu jauh dari rumah sang ibu. Hanya sekitar 1 KM mungkin. Tak
pakai payung pun sebenarnya tidak apa-apa. Tapi kami tetap memakai payung
tersebut, melegakan sang ibu dan agar tidak mengecewakan.
***
Sore ini aku berencana mengembalikan
payung ungu yang 3 hari lalu kupinjam, setelah 3 hari ini pula aku kelupaan
terus untuk mengembalikan. Setiap berangkat dan pulang kerja, sebenarnya aku
selalu melewati jalan depan rumah sang ibu, tapi namanya lupa memang tidak bisa
disalahkan.
Ditengah gerimis, aku menghentikan
motorku di halaman yang cukup luas itu. Seorang wanita berusia sekitar 50an
tahun keluar dengan tergopoh-gopoh.
“Masya
Allah....hujan-hujan kok ya nekat kesini tho nduk-nduk.” [nduk adalah
panggilan untuk anak perempuan Jawa]
Ah,
sambutannya begitu menyejukkan dan bersahabat. Dan beliau memanggilku dengan
panggilan –nduk-. Sebuah panggilan yang sangat kusenangi sejak kecil.
Aku
tersenyum. Tampak ibu itu begitu sumringah menyambutku.
“Lha
mbok kapan-kapan aja tho nduk-nduk.
Hujan-hujan gini kok ya nekat”
“Mboten
nopo-nopo bu. Nyuwun pangapunten, kawula kesupen terus.”[tidak apa-apa bu. Mohon maaf,saya kelupaan terus]
Aku
menuju teras rumah beliau kemudian menjabat dan mencium tangannya takzim.
Kuserahkan payung ungu itu beserta sebungkus oleh-oleh yang sengaja kubeli
untuk sang ibu. Ibu tersebut menolak bingkisan yang kuberikan. Saling mendesak,
akhirnya beliau menerima bingkisan yang tak berarti itu.
Sang
ibu mempersilahkan masuk. Tapi karena kondisiku yang sudah nyaris basah
membuatku berargumen untuk meminta ngobrol di teras saja.
Kami
ngobrol banyak hal. Mulai tentang sang cucu semata wayang, anak semata wayang,
hingga cerita sang suami tercinta yang sejak 4 tahun lalu harus bedrest karena strok.
Sang
ibu bercerita sambil sesekali mengusap airmata. Mata itu terus berkaca-kaca.
Mungkin ingatan beliau sedang teringat sesuatu.
Ah,
senyum itu sepertinya begitu berharga untuk melecutkan semangat hidupnya. Sang
cucu laki-laki kulihat sedang asik bermain bola sendirian. Dia tampak tanpa
beban. Lelaki kecil itu pula yang mungkin mampu memacu semangat sang nenek
untuk selalu tegar menghadapi segala ujian hidup.
Hingga kini, silaturahimku masih
erat terjaga bersama sang ibu. Sesekali aku mampir ke rumahnya, sesekali aku
tertawa terbahak-bahak bercerita hal-hal sepele bersamanya. Ah, semua ini hanya
karena sebuah payung ungu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar