Melihatnya tergolek lemah, aku hanya bisa meneteskan air mata. Wajah
bulatnya sepertinya menahan sesak nafas yang membuatnya begitu kesusahan
bernafas. Ah, seandainya sakit itu bisa dialihkan kepadaku, aku akan lebih
lega, karena minimal tak melihatnya kesakitan.
Nafisah Jinan ‘Ismah Mimosa. Anak
tercintaku. Jumat pagi itu harus kami bawa ke IGD PKU Muhammadiyah Solo, karena
semalaman sesak nafas hingga tidak mau tidur. Boro-boro tidur, bernafas saja
rasa-rasanya butuh tenaga ekstra. Sekedar rebahan saja sepertinya dia tak sanggup.
Hanya nangis dan seandainya ‘dia sudah bisa bicara’ mungkin dia akan berkata: “Abi,
Umi, dadaku sakit...”
Tapi karena bicaranya masih
sebatas, Abah, Mamah, Embah,
Ammah, Maem, Dada, Apa, dan beberapa vokal ‘a’, maka diapun tak mengeluh apapun pada kami. Menangispun hanya sesaat, mungkin ketika sakitnya sudah mulai klimaks. Sebagai seorang ibu, aku rasanya ingin menjerit dan ikut menangis pula. Tapi tatapan teduh suamiku seolah-olah mengatakan: “Umi ga usah panik, dedek butuh ketenangan dari kita...”
Ammah, Maem, Dada, Apa, dan beberapa vokal ‘a’, maka diapun tak mengeluh apapun pada kami. Menangispun hanya sesaat, mungkin ketika sakitnya sudah mulai klimaks. Sebagai seorang ibu, aku rasanya ingin menjerit dan ikut menangis pula. Tapi tatapan teduh suamiku seolah-olah mengatakan: “Umi ga usah panik, dedek butuh ketenangan dari kita...”
Malam itu sebenarnya kami ingin
langsung membawa Nafis ke PKU. Tapi aku masih mencoba berfikir untuk membuat
buah hatiku tenang. Hampir semalaman suamiku menggendongnya, mendekap erat
tubuh mungil itu sambil sesekali wajah cemasnya berkelebat.
Sampai akhirnya bakda shubuh itu,
aku tak mau terlambat bergerak. Segera berganti baju dan ku bilang pada
suamiku: “Kak, sekarang juga ke PKU ya...”
Suamiku langsung mengiyakan.
Bersiap-siap, berganti pakaian, dan tanpa panjang lebar lagi, kami berangkat ke
PKU Muhammadiyah Solo. Tubuh mungil Nafis (berat badannya sudah turun banyak) kubungkus
rapat, sepanjang perjalanan aku terus memandangi wajah bulat putri pertamaku.
Nafis. Putri kecil yang selalu
ceria. Sejak bisa berdiri, dia selalu berdiri di depan cendela ruang tamuku.
Sambil tersenyum pada setiap orang yang lewat, sambil bilang “dada...dada...dada....”,
ah mataku berkaca-kaca mengingatnya. Putri kecilku yang selalu ceria setiap
kali kujemput dari sekolahnya. Putri kecilku yang tak pernah putus asa, tak
patah semangat saat belajar apapun dalam fase pertumbuhannya. Tak nangis saat
tangannya kejepit jendela saat belajar berdiri, tak ada tangisan saat kepalanya
kejedot meja saat belajar merangkak.
Dan sejak 3 hari lalu, ia hanya
diam lemas, lemah dan tak banyak bicara. Semata-mata karena menahan rasa sakit
di dadanya. Saat kuperiksakan 2 hari lalu, dokter mengatakan Nafis sakit
bronkiolitis, sakit infeksi percabangan paru yang disebabkan oleh dahak batuk
yang tidak bisa keluar. Aku berkaca-kaca saat dr. Rusmawati mengatakan hal itu.
Aku berpikir, penyakit apa ini, kenapa menimpa anakku...
Tapi ketika itu, dr Rusma langsung
mengatakan. “Insya Allah tidak apa-apa bu, ini nanti diobati insya bisa sembuh.
Tidak perlu terlalu khawatir, karena ini penyakit yang memang biasa terjadi
pada beberapa anak kecil.” Akupun bertanya banyak hal, termasuk penyebab, cara
mengantisipasi, efek, dsb. Dan aku cukup lega saat kusempatkan membuka google
dan me-search ‘Bronkiolitis’,
sembari menunggu antrian obat di apotik.
Sampailah kami di PKU
Muhammadiyah. Masuk IGD, dan Nafis langsung ditangani oleh dokter jaga. Dr Aswin
Wikantama, dokter yang bagiku tidak terlalu asing. Setelah dicek sana-sini, (aku
cukup tenang melihat gerak cepat dokter dan para perawat yang sangat ramah), dr
Aswin mengatakan: “Opname aja ya Pak, Bu. Karena dek Nafis harus rutin di Nebu
untuk mengeluarkan dahaknya.”
Kami patuh. Mungkin kami memang
lebih tenang kalau Nafis di opname. Kami akan tenang, karena Nafis dalam
pemantauan, meskipun kami agak sedih juga, melihat dia sudah di rawat inapkan
dalam usia masih 8,5 bulan. Tapi bukankah ini salah satu ikhtiar kami...Allah,
kami benar-benar menginginkan anak kami sehat...
Kami pesan kamar, dan tanpa
menunggu lama, kamipun sudah masuk kamar. Kutidurkan anak-ku, dan aku menatap
suamiku. Suamiku mengatakan: “Sabar ya dek...”
Lagi-lagi aku tak mampu
berkata-kata. Apalagi melihat putriku di infus, ataupun diminumi obat. Tapi,
kalau kami tidak patuh dengan cara ini, kami semakin khawatir dengan kondisi
putri kami.
Hingga beberapa hari, Nafisah
kecilku di rawat di RS PKU Muhammadiyah Solo. Ditangani oleh dr Rusma, dan dirawat
medis oleh para perawat yang menurutku sangat ramah.
Hari kedua, alhamdulillah Nafis sudah
mulai seger, meskipun tetap belum mau maem. Mungkin karena infus yang dipasang
di tangan kirinya mulai bekerja, sehingga energi bidadari kecilku sudah mulai
pulih. Maklum, Nafis tidak mau maem sejak 3 hari yang lalu, jadi lemesnya pakai
banget.
Hari kedua di RS, geraknya sudah
mulai aktif lagi. Meskipun belum mau maem, Nafis sudah mau makan pisang, roti
ataupun daging giling kesukaannya, meskipun sedikit.
Di hari kedua itu pula, saat
energinya sudah mulai pulih, Nafis berhasil melepas selang infusnya.
Keinginannya cuma satu, dia ingin turun dari bed, dan merangkak ataupun trantanan di bawah. Namun tak berapa
lama, infus itu dipasang kembali di tangan kanannya. Hati ini rasanya tak kuat
saat mendengar tangisannya ketika tangan kanannya disuntik oleh perawat untuk
memasang infus di tangan kanannya.
Dahsyat. Baru 2 jam, infus di
tangan kanannya tidak jalan. Ternyata jarumnya sudah bengkok, karena gerak
nafis yang luar biasa. Rupanya energinya sudah pulih. Senyumnya sudah mulai
lebar, menunjukkan 2 gigi bawahnya (yang atas baru mau akan tumbuh soalnya,
hehe).
Setelah diketahui jarumnya patah,
perawat memutuskan untuk melepas saja infusnya karena sudah tidak lemas, selain
itu makannya juga sudah mulai mau. Alhamdulilah....satu fase terlampaui,
meskipun di kakinya dipasang plat untuk memasukkan obat.
Nafis mulai tampak segar. Sehari
akupun harus menyaksikan anakku di Nebu hingga 3 atau 4x. Ataupun d suntik,
lewat plat di kakinya. Minum obat oral, dan fisioterapi. Nak, kami hanya ingin
melihat keceriaanmu kembali, makanya kami bersabar mengikuti prosedur, agar kau
tak lagi kesakitan.
Tiga hari di RS.
Sudah banyak sekali dahak yang
dia keluarkan. Lewat muntahan, lewat veses, ataupun lewat ingus. Aku pun sudah
mulai agak tenang. Pun banyak sekali saudara-saudara dan teman-teman yang
menjenguk, menambah tenang hati ini atas do’a-do’a mereka.
Alhamdulillah, di hari ke-5, dr
Rusma menyampaikan, paru-paru Nafis sudah bersih dari dahak, dan dokter
mengijinkan pulang. Alhamdulillah....
Terima kasih Allah...pelajaran ini sangat berharga
bagi kami. Mungkin kami belum menjadi orang tua yang berikhtiar maksimal
menjaga kesehatan putri kami. Dengan cara ini, Kau ingatkan kami agar
senantiasa menjaga Nafis dengan penuh tenaga. Meskipun sebenarnya, selama inipun
kami sudah memberikan yang terbaik untuknya. Tapi itu menurut kami, bukan
menurutMu....* NAK, MAAFKAN ABI UMI YA...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar