Minggu, 19 Februari 2012

Cerpen 1: SYUKUR TANPA BATAS


Aku masih tersenyum geli setelah membaca sebaris kalimat di sepeda kumbang warna coklat yang terparkir di samping rumahku. Di bagian depan -di desain seperti plat nomor pada sepeda motor- ada sebaris tulisan “Sepeda antik full musik”. Ah, kreatif amat pemilik sepeda itu. Pemiliknya adalah Pak Darno, kuli bangunan di rumahku, yang mulai bekerja merenovasi teras dan dapur rumahku sejak 2 pekan yang lalu. Akupun baru sekitar 3 hari yang lalu tahu nama asli Pak Darno, karena selama ini orang-orang lebih sering memanggilnya Pak Pendek. Sebenarnya postur tubuhnya juga tidak pendek, tingginya kira-kira sekitar 168 cm. Tapi entah mengapa Pak Darno lebih terkenal dengan nama Pak Pendek. Dan Pak Darno pun tidak pernah protes dengan panggilan itu.
Setiap pagi, Pak Darno –aku tak mau memanggilnya Pak Pendek- selalu datang di rumahku tepat pukul 07.00, 15 menit sebelum suamiku berangkat kerja. Pak Darno datang dengan seulas senyum yang menunjukkan deretan giginya. Giginya tampak rapi dan bersih meskipun usianya sudah 50-an. “Assalamu’alaikum, apa kabar pagi ini Pak Ridwan?” Selalu dan selalu itu yang beliau ucapkan setiap datang ke rumahku, yang mungkin adalah kantornya selama kurang lebih 2 bulan ke depan. Menyapa suamiku sambil menjabat tangan suamiku. Seorang berusia 50-an tak malu menjabat seseorang yang usianya jauh dibawahnya. Suamiku masih 28 tahun. Bahkan dalam ajaran Islampun seharusnya yang muda-lah yang menyapa yang lebih tua. Tapi, suamiku selalu kalah dengan Pak Darno.
                “Bu Retno, nyuwun pangapunten. Apa ada yang aneh dengan sepeda saya.
Kok sepertinya Ibu begitu aneh melihat sepeda saya?” tiba-tiba Pak Darno sudah muncul di belakangku sambil membawa 1 sak semen. Aku tersenyum malu. “Enggak ada yang aneh Pak. Saya cuma heran dengan tulisan itu Pak.” Aku menjawab dengan menunjuk sebaris tulisan yang tadi tak sengaja kubaca.
“O, itu bu. Wah saya jadi malu. Sepeda saya kan jelek bu. Suarany sudah nggak karu-karuan karena faktor usia. Kalau saya naiki, suaranya kreteg kreteg kreteg gitu. Makanya saya tulisi saja, bahwa ini sepeda full musik. Yah, bagaimanapun ini kan harus disyukuri Bu.” Sambil tersenyum lebar, Pak Darno menjelaskan sejarah sebaris kalimat itu.
“Subhanallah...kreatif sekali panjenengan Pak.” Sahut saya.
Ngapunten lho Bu, memang begitulah saya, suka aneh-aneh.”  Lanjut Pak Darno sambil pamit untuk melanjutkan tugasnya.
***
                “Pak Darno itu beda dengan bapak-bapak yang lain ya Dek.” Sambil menimang putri kami, suamiku menghampiriku yang sedang memasak.
“Beda pripun tho Mas?”
“Baru saja Mas ngobrol sama beliau. Iseng-iseng Mas bertanya kepada Pak Darno, kenapa beliau tidak merokok seperti bapak-bapak yang lain. Trus beliau menjawab, ‘Sampai sekarang saya belum menemukan manfaat merokok Pak. Kalau suatu saat merokok sudah ada manfaatnya dan sudah tidak ada mudhorotnya, mungkin saya akan ikut-ikutan.’ Subhanallah...bijak sekali ya Dek”
Aku tersenyum menimpali cerita suamiku, “Begitulah Pak Darno Mas. Kita bisa banyak belajar dari beliau."
***
                Hari ini Pak Darno tampak sangat lesu. Apa mungkin beliau capek ya. “Bapak sakit? Atau capek? Kalau memang capek, istirahat dulu tidak apa-apa Pak. Atau barangkali sakit,istirahat di rumah dulu saja Pak” aku menghampiri Pak Darno yang sedang duduk istirahat di bawah pohon mangga belakang rumahku.  
“Gak papa kok bu. Agak kepikiran sama istri aja. Sejak kemarin istri sakit.”
“Masya Allah...Ibu sakit apa Pak? Sekarang dirawat dimana?”
“Sekarang di rumah Bu. Sebenarnya hanya demam, tapi saya selalu sedih ketika istri saya sakit.” Subhanallah...Pak Darno. Hebat sekali orang ini. Terbersit dalam benakku untuk bertanya alasannya kenapa Pak Darno sedih kalau istrinya sakit.
“Emm, subhanallah...bapak sangat menyayangi istri bapak ya. Memang apa yang membuat Bapak sedih ketika istri bapak sakit?”
“Iya bu, saya sangat menyayangi istri dan anak-anak saya. Bagaimana tidak sedih Bu. Istri saya kan belahan jiwa saya. Saya selalu merasa sedih kalau dia juga sedih. Saya sayang karena dialah yang merawat saya selama ini. Dia mencucikan baju saya tanpa saya suruh, memasakkan saya tanpa saya minta, bahkan selalu memijit saya dengan tetap riang gembira...”
Subhanallah...itukan kata-kata Umar bin Khattab. Pak Darno begitu bijak. Aku terdiam. Bermaksud meminta alamat pak Darno.
***
                Aku datang ke rumah Pak Darno bersama suamiku. Aku memang baru sekarang tahu rumah Pak Darno. Suamiku mengucap salam. Pak Darno menjawab salam sambil tampak tergopoh-gopoh menyambut kami. “Pak Ridwan dan Bu Retno. Monggo-monggo masuk Pak, Bu. Beginilah gubug kami. Tidak pantas untuk Pak Ridwan dan Bu Retno.”
“Tidak pantas buat kami, karena rumah ini terlalu istimewa buat kami. Rumahnya memang biasa, tapi orang-orang yang ada di dalamnya orang-orang luar biasa,” sahut suamiku tidak mau kalah menyanjung.
“Ah, Pak Ridwan bisa saja.” Tampak dari balik pintu kamar, Bu Darno keluar. Masih tampak lesu, tapi lesu itu tertutupi oleh senyuman yang begitu cantik. Jilbab sederhana yang menjulur lebar menambah anggun meskipun tak berhias sedikitpun.
“Assalamu’alaikum Bu, Ibu sudah sehat?” suamiku menyapa Bu Darno.
“Alhamdulillah...berkat doa Bapak dan Ibu, berkat ketelatenan suami merawat juga. Ini sudah jauh lebih baik”
Bu Darno tampak begitu bangga dengan suaminya.
Kami mengobrol banyak hal, hingga akhirnya mata saya menangkap sebuah foto seorang gadis duduk bersama dengan seorang laki-laki dengan –maaf- bibir sumbing dan mata kiri terpejam.
“Itu putra-putri Bapak dan Ibu?” tanyaku pada mereka.
“Iya bu, yang gadis namanya Dara. Yang laki-laki namanya Amar. Yaa...merekalah anak-anak kebanggaan kami bu. Yang selalu menjadi motivasi bagi saya untuk giat beribadah dan bekerja. Sekarang Dara 30 tahun, dan Amar 27 tahun.  Amar yang selalu mengajarkan kepada kami tentang hidup. Dengan kondisi fisiknya yang tidak sempurna seperti itu, kesyukuran dia sangat luar biasa. Kadang saya malu.” Pak Darno menjelaskan.
“Sekarang mereka pada di mana Pak?”
“Dara lebih dicintai oleh Allah bu. Di hari pertama kerjanya sebagai seorang perawat, ketika dia turun dari angkot, tiba-tiba ada motor yang menabraknya. Dan anak saya langsung meninggal dengan senyum tercantiknya. Kami mengikhlaskannya bu. Dia tetap Dara kami, dan Insya Allah akan bertemu jodohnya di surga. Aamiin.” Dengan mata berkaca-kaca, Pak Darno bercerita tentang Dara.
Tiba-tiba senyumnya mengembang. “Kalau Amar...ah arjuna kami. Dia dosen dan sekarang sedang mendapat beasiswa untuk kuliah lanjut di Korea. Subhanallah...Allah itu sayang sama kita ya...”
Aku bingung harus berekspresi seperti apa. Pak Darno dengan sejuta kisah hidupnya. Bu Darno yang dulu bekerja sebagai karyawan sebuah toko, diminta berhenti saja oleh Pak Darno, karena menurut Pak Darno, suamilah yang berkewajiban mencari nafkah. Seorang kuli bangunan berjiwa baja. Mampu menyekolahkan anaknya sebagai seorang perawat dan seorang dosen. Dara yang cantik dan sempurna dengan jilbab anggunnya, harus pergi di hari pertama masuk kerjanya. Pak Darno dan istri pun ikhlas, padahal saatnya menuai hasil dari jerih payah menyekolahkan Dara. Amar dengan kondisi fisik yang kurang sempurna, mampu menjadi seorang dosen bahkan kini kuliah di Korea.
“Ah, namanya anak sendiri ya di puji-puji sendiri ya Bu. Monggo-monggo makanan seadanya ini dicicipi. Ini bikinan istri lho...”
Setelah banyak bercerita dan memastikan bahwa kondisi Bu Darno sudah baik-baik saja, kami berpamitan pulang. Aku masih penuh dengan segudang perasaan yang rasa-rasanya tak bisa kuurai satu per satu. Sepertinya suamiku menangkap ekspresiku. “Maafkan abi yang belum bisa mengajarkan banyak hal kepadamu. Belum bisa mengajarkan bentuk syukur yang sesungguhnya...”
Aku tersenyum kepada suamiku. “Bukan Abi yang seharusnya minta maaf, tapi akulah yang sepertinya belum bisa maksimal bersyukur. Aku banyak menuntut dan sering membuat Abi resah oleh sikap-sikapku.”
Suamiku tertawa lebar, ”Kita selalu begini ya dek, saling menyalahkan....Kita harus banyak belajar dari kehidupan Pak Darno dan keluarganya.”
Aku pun tersenyum pada suamiku, sambil teringat sebuat tulisan “Syukur Tanpa Batas” yang tertulis di ruang tamu rumah Pak Darno.Selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar